Administrasi Perkantoran
Ilmu Pendidikan
MAKALAH
Makalah Emotional Quotient
Makalah Emotional Quotient - Hallo sahabat Situs Pendidikan Masa Kini - Patih Akbar, Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Makalah Emotional Quotient, kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel
Administrasi Perkantoran,
Ilmu Pendidikan,
MAKALAH, yang kami tulis ini dapat anda pahami. dengan mudah, selamat membaca.
Judul : Makalah Emotional Quotient
link : Makalah Emotional Quotient
Anda sekarang membaca artikel Makalah Emotional Quotient dengan alamat link https://patihakbar.blogspot.com/2015/11/makalah-emotional-quotient.html
Judul : Makalah Emotional Quotient
link : Makalah Emotional Quotient
Makalah Emotional Quotient
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Organisasi merupakan suatu wadah perkumpulan beberapa orang yang memiliki tujuan yang sama. Selain memiliki tujuan yang sama, mereka juga memiliki persamaan persepsi tentang bagaimana cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama, sehingga dengan demikian tujuan organisasi dapat dengan lebih mudah untuk dicapai.
Sama halnya dengan organisasi, perusahaan juga memiliki tujuan yang telah ditetapkan dari awal pembangunan perusahaan tersebut. Perusahaan dipimpin oleh seorang manager yang membantu untuk menggerakan karyawannya agar dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Apabila tujuan tersebut dapat tercapai dengan bantuan dr karyawan yang telah dipekerjakan, maka akan ada timbal baliknya seperti yang telah dijanjikan pada awal masa kerja karyawan tersebut.
Dalam suatu perusahaan, kita pastinya akan berkomunikasi dengan banyak orang, baik orang dari perusahaan yang sama atau bahkan yang berasal dari perusahaan lain. Komunikasi inilah yang menjadi suatu kunci keberhasilan suatu perusahaan. Komunikasi yang baik akan membawa suatu perusahaan kepada kesuksesan yang besar, begitu pula sebaliknya komunikasi yang buruk akan membawa perusahaan tersebut kepada kehancuran.
Dalam berkomunikasi, setidaknya kita memiliki kecerdasan intelektual yang dapat kita gunakan untuk modal berkomunikasi dengan baik dan mampu mengimbangi lawan bicara kita. Apabila kita tidak memiliki kecerdasan intelektual, maka kita tidak akan bisa berkomunikasi dengan baik dengan lawan bicara kita. Maka dari itu kecerdasan intelektual disini sangat diperlukan agar kita bisa melakukan komunikasi yang mencapai tujuan dari komunikasi itu sendiri.
Selain kecerdasan intelektual, diperlukan juga kecerdasan emosional. Kita tidak pernah tau seperti apa lawan bicara yang akan kita hadapi, maka dari itu paling tidak kita menyiasatinya dengan kecerdasan emosional yang kita miliki. Apabila kita dihadapkan dengan lawan bicara yang kebetulan mengasyikan dan mau menerima pendapat orang lain, itu bukanlah suatu masalah bahkan komunikasi yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Namun apabila kita dihadapkan dengan lawan bicara yang agak keras kepala, tidak mau mengalah dan tidak mau menerima pendapat atau masukan dari orang lain, disitulah kecerdasan emosional kita diperlukan.
Dengan berbekal kecerdasan emosional yang kita miliki, komunikasi akan berjalan dengan lancar. Setidaknya kita bisa menghadapi lawan bicara seperti yang telah disebutkan diatas dengan baik karena kita mampu untuk mengontrol emosi kita. Dengan demikian komunikasi dapat berjalan dengan baik dan sebagaimana mestinya.
Model-model kecerdasan yang kini dikembangkan dalam dunia psikologi mendasarkan argumen-argumennya pada temuan-temuan ilmiah mulai dari model kecerdasan konvensional (IQ), kecerdasan emosional (EQ), hingga yang mengklaim diri sebagai model kecerdasan ultimat: kecerdasan spiritual (SQ), seluruhnya masih menjelaskan kesadaran manusia dengan segenap aspek-aspeknya sebagai proses-proses yang secara esensial berlangsung pada jaringan syaraf. Meski jaringan syaraf pusat menampakkan gejala-gejala aktivitas kesadaran manusia secara dominan, namun sekedar mereduksi entitas kesadaran ke dalam proses-proses syaraf tersebut, hanya akan memastikan hilangnya peluang untuk menjelaskan struktur kesadaran manusia secara utuh dan fundamental.
Studi dan penelitian tentang kecerdasan dalam psikologi modern pada dasarnya termotivasi untuk memenuhi keperluan-keperluan praktis yang terkait dengan dunia pendidikan/pekerjaan/kehidupan sehari-hari; yakni untuk memahami, mengukur, mengklasifikasi, mengelola serta memanfaatkan aspek-aspek kecerdasan individu dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam konteks ini, kecerdasan dimaknai–sama seperti maknanya dalam bahasa sehari-hari–sebagai kemampuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan praktis (problem-solving capacity).
Jika kita melihat dunia kerja, maka kita bisa menyaksikan bahwa seseorang tidak cukup hanya pintar di bidangnya. Dunia pekerjaan penuh dengan interaksi sosial di mana orang harus cakap dalam menangani diri sendiri maupun orang lain. Orang yang cerdas secara intelektual di bidangnya akan mampu bekerja dengan baik. Namun jika ingin melejit lebih jauh dia membutuhkan dukungan rekan kerja, bawahan maupun atasannya. Di sinilah kecerdasan emosional membantu seseorang untuk mencapai keberhasilan yang lebih jauh.
Dalam proses rekrutmen karyawan, seseorang dengan nilai IPK yang tinggi sekalipun dan datang dari Universitas favorit tidak selalu menjadi pilihan yang terbaik untuk direkrut. Ada kalanya orang yang pintar secara intelektual kurang memiliki kematangan secara sosial. Orang seperti ini bisa jadi sangat cerdas, memiliki kemampuan analisa yang kuat, serta kecepatan belajar yang tinggi. Namun jika harus bekerja sama dengan orang lain dia kesulitan. Atau jika dia harus memimpin maka akan cenderung memaksakan pendapatnya serta jika harus menjadi bawahan punya kecenderungan sulit diatur.
Orang seperti ini mungkin akan melejit jika bekerja pada bidang yang menuntut keahlian tinggi tanpa banyak ketergantungan dengan orang lain. Namun kemungkinan besar dia akan sulit bertahan pada organisasi yang membutuhkan kerja sama, saling mendukung dan menjadi sebuah “super team”, bukan “super man”.
Tentunya tidak semua orang yang cerdas secara intelektual seperti itu. Dan bukan berarti kecerdasan intelektual tidak penting. Dalam dunia kerja kecerdasan intelektual menjadi sebuah prasyarat awal yang menentukan level kemampuan minimal tertentu yang dibutuhkan. Sebagai contoh beberapa perusahaan mempersyaratkan IPK mahasiswa minimal 3.0 atau 2.75 sebagai syarat awal pendaftaran. Hal ini kurang lebih memberikan indikasi bahwa setidaknya kandidat tersebut telah belajar dengan baik di masa kuliahnya dulu.
Setelah syarat minimal tersebut terpenuhi, selanjutnya kecerdasan emosional akan lebih berperan dan dilihat lebih jauh dalam proses seleksi. Apakah dia punya pengalaman yang cukup dalam berorganisasi? Apakah calon tersebut pernah memimpin atau dipimpin? Apa yang dia lakukan ketika menghadapi situasi sulit? Bagaimana dia mengelola motivasi dan semangat ketika dalam kondisi tertekan? Dan banyak hal lagi yang akan diuji.
Dalam dunia kerja yang semakin kompetitif, kemampuan seseorang menangani beban kerja, stres, interaksi sosial, pengendalian diri, menjadi kunci penting dalam keberhasilan. Seseorang yang sukses dalam pekerjaan biasanya adalah orang yang mampu mengelola dirinya sendiri, memotivasi diri sendiri dan orang lain, dan secara sosial memiliki kemampuan dalam berinteraksi secara positif dan saling membangun satu sama lain. Dengan cara ini orang tersebut akan mampu berprestasi baik sebagai seorang individu maupun tim.
Goleman seorang peneliti ilmu-ilmu perilaku dan otak, Doktor dari Harvard University,menyatakan bahwa IQ atau kecerdasan intelektual hanya berpengaruh 5-10 % terhadap keberhasilan, sisanya adalah faktor kecerdasan lain. Lebih lanjut Goleman menyatakan faktor kecerdasan penting yang lain tersebut adalah Emotional Quotient (EQ). EQ berorientasi kepada kecerdasan mengelola emosi manusia. Di dalamnya terdapat unsur kemampuan akan kepercayaan diri sendiri, ketabahan, ketekunan, menjalin hubungan sosial. Jika pekerja memiliki kecerdasan rata-rata, sebenarnya ia dapat meraih prestasi kerja yang tinggi jika adanya kepercayaan terhadap diri sendiri, tidak terlalu tergantung kepada orang lain, ketabahan menghadapi beban kerja, ketekunan dalam bekerja, melakukan kontak-kontak sosial dalam kerja, akan merubah posisi seorang yang semula berprestasi rata-rata menuju tingkat prestasi yang lebih baik.
Sebuah penelitian pada hampir 42.000 orang di 36 negara dan mengungkapkan hubungan positif antara kecerdasan emosional dan kesuksesan dalam kehidupan pribadi dan pekerjaan (Stein dan Book, 2002). Ini menunjukkan bahwa seorang karyawan juga akan berhasil jika di dalam diri mereka terbentuk nilai-nilai EQ yang tinggi. Penelitian-penelitian lain menunjukkan bahwa IQ dapat digunakan untuk memperkirakan sekitar 1-20 % keberhasilan dalam pekerjaan, EQ di sisi lain berperan 27-45 % berperan langsung dalam keberhasilan pekerjaan. Jan Derksen dan Theodore Bogels di Belanda dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa ada hubungan yang signifikan yakni orang-orang yang ber-EQ tinggi dengan kemampuan menghasilkan banyak uang (Stein dan Book,2002).
Penciptaan kesadaran akan EQ ini seperti merupakan penciptaan akan aspek afeksi karyawan untuk siap terjun dalam dunia kerja yang penuh dengan tantangan dan kompetisi tinggi, stress, sehingga memerlukan pengelolaan emosional yang baik. Seorang pakar sekaligus pengamat sumber daya manusia, Parlindungan Marpaung memberikan solusi untuk mengelola emosional dalam bekerja (Marpaung, 2002). Ketika tuntutan EQ menjadi fokus utama dalam pemberdayaan karyawan dalam rangka jenjang karier seseorang maupun pengembangan pribadinya, tentu menjadi satu hal yang menakutkan bagi seseorang setelah dia menyadari bahwa EQ-nya tidak terlalu menonjol. Satu hal yang paling berbahaya adalah ketika seseorang tidak menyadari bahwa EQ-nya sangat dangkal dan bangga dengan gelar/pengetahuan yang dimilikinya (IQ). Oleh karena itu, perlu beberapa langkah praktis untuk membangkitkan kesadaran ini dan meningkatkan kecerdasan emosi menuju kecakapan emosi yang maksimal ditempat kerja.
Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat dewasa ini, sangat diperlukan sumber daya manusia yang berkualitas sehingga mampu menghadapi persaingan dan perubahan. Lingkungan yang dihadapi oleh manajemen sumber daya manusia sangat menantang karena perubahan muncul sangat cepat dan memiliki masalah yang luas (Mathis dan Jackson, 2001:4). Untuk mampu bersaing pada era global sebuah organisasi atau perusahaan harus memiliki sumber daya yang baik, khususnya sumber daya manusia yang berkualitas.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah pengertian dari Emotional Quotient (EQ)?
2. Apa sajakah dimensi Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja?
3. Seberapa penting Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Emotional Quotient (EQ).
2. Untuk mengetahui dimensi Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja.
3. Untuk mengetahui pentingnya Emotional Quotient (EQ) di tempat kerja.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Kecerdasan Emosional (Emotional Question)
Istilah Kecerdasan Emosional (Emotional Intelligence) mulai populer sejak diperkenalkan secara massal pada tahun 1995 oleh Daniel Goleman lewat bukunya berjudul Emotional Intelligence – Why It Can Matter More Than IQ.Sebenarnya istilah ini sudah muncul sebelumnya dan sebagai terminologi dipakai dalam tesis doktoral Wayne Payne di tahun 1985.
Ada banyak perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan kecerdasan emosional. Secara relatif bidang ini dianggap masih baru dalam Psikologi dan masih mencari bentuknya yang lebih mantap. Secara sederhana kecerdasan emosional dapat diartikan sebagai:
· kemampuan mengenali emosi diri sendiri
· kemampuan mengendalikan emosi dan mengambil tindakan yang tepat
· kemampuan mengenali emosi orang lain
· kemampuan bertindak dan berinteraksi dengan orang lain
Dengan demikian orang yang cerdas secara emosional adalah orang yang memahami kondisi dirinya, emosi-emosi yang terjadi, serta mengambil tindakan yang tepat. Orang tersebut juga secara sosial mampu mengenali dan berempati terhadap apa yang terjadi pada orang lain dan menanggapinya secara proporsional.
Kecerdasan intelektual (IQ) dapat di ukur dan dikategorikan menurut tingkat IQ itu sendiri. Banyak instansi yang menyaring calon pegawainya melalui tes IQ. Tapi seiring dengan perkembangan zaman, ternyata muncul pandagan bahwa IQ saja tidaklah cukup untuk menentukan kecerdasan dan menjamin kesukseksan seseorang. IQ harus dibarengi dengan kecerdasan lainnya yang disebut EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional.
Goleman mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kapasitas dalam mengenali perasaaan-perasaan diri sendiri dan orang lain, dalam memotivasi diri sendiri dan mengelola emosi-emosi dengan baik dalam diri kita sendiri maupun dalam hubungan-hubungan kita. Berbeda dengan pendapat Cooper dan Sawaf mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan merasakan, memahami dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi.
Lebih lanjut diungkapkan oleh Sternberg dan Salovey yang mengatakan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali emosi diri merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul dan ia mampu mengenali emosinya sendiri apabila ia memiliki kepekaan yang tinggi atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Sejalan dengan pendapat Stenberg dan Salovey, menurut Mayer bahwa kecerdasan emosional adalah sebagai sekelompok kemampuan mental yang membantu mengenali dan memahami perasaan-perasaan sendiri dan perasaan orang lain yang menuntun kepada kemampuan untuk mengatur perasaan-perasaan sendiri.
Berbeda dengan Mayer, Purba mendefinisikan kecerdasan emosional sebagai kemampuan di bidang emosi, yaitu kemampuan menghadapi frustasi, kemampuan mengendalikan emosi, semangat optimisme, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (empati).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengendalikan emosinya untuk mengambil keputusan tertentu dalam hubungan interpersonal.
B. Dimensi Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja
Goleman menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dapat didefinisikan dalam empat dimensi yaitu:
1. Self-awareness
Self awarenessyaitu kemampuan manusia untuk secara akurat memahami diri sendiri dan tetap sadar terhadap emosi diri ketika emosi muncul, termasuk tetap mempertahankan cara manusia dapat merespons situasi tertentu dan orang-orang tertentu di dalamnya terdapat kesadaran emosi (emotional awareness), penilaian diri yang akurat (accurate self-assessment), dan kepercayaan diri (self confidence).
2. Social Awareness
Social awerenessadalah kemampuan manusia untuk secara tepat menangkap emosi orang lain dan mengerti apa yang benar-benar terjadi, dapat diartikan memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan walaupun tidak merasakan yang sama, di dalamnya terdapat: empati, orientasi pelayanan (service orientation), kesadaran berorganisasi (organizational awareness).
3. Self Management
Self managementadalah kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia untuk tetap fleksibel dan secara positif mengarahkan perilaku diri manusia itu sendiri, yang berarti mengelola reaksi emosi manusia itu sendiri kepada semua orang dan situasi, di dalamnya terdapat: kontrol emosi diri (emotional self-control), dapat dipercaya (trustworthiness), teliti (conscientiousness), kemampuan beradaptasi (adaptability), dorongan berprestasi (achievement drive), inisiatif.
4. Relationship Management
Relationship managementmerupakan kemampuan untuk menggunakan kesadaran emosi manusia dan emosi orang lain untuk mengelola interaksi yang berhasil, termasuk berkomunikasi dengan jelas dan efektif untuk mengatasi konflik, yang didalamnya terdapat memajukan orang lain (developing others), dapat mempengaruhi (influence), komunikasi (communication), manajemen konflik (conflict management), dapat memimpin (visionary leadership), catalyzing change, membangun ikatan (building bonds), kerjasama dan berkolaborasi (teamwork and collaboration).
Selain Goleman, Titimaea mengungkapkan lima dimensi dari kecerdasan emosional yaitu: self awareness, self regulation, self motivation, social awareness, dan social skills sebagai berikut:
1. Self awareness
Kemampuan seseorang untuk memahami berbagai potensi dalam dirinya menyangkut kelebihan yang dimiliki maupun kelemahannya.
a. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memahami kekuatan, kelemahan, nilai dan motif diri (Having high self-awareness allows people to know their strengths, weaknesses , values, and motives).
b. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu mengukur suasana hatinya dan memahami secara intuitif bagaimana suasana hatinya mempengaruhi orang lain (People with high self awareness can accurately measure their own moods and intuitively understand how their moods affect others)
c. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu menerima umpan balik dari orang lain tentang bagaimana memperbaiki secara berkelanjutan (are open to feedback from others on how to continuously improve)
d. Mampu membuat keputusan meskipun di bawah ketidakpastian maupun di bawah tekanan (are able to make sound decisions despite uncertainties and pressures).
e. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu menunjukkan rasa humor (They are able to show a sense of humor).
f. Seorang pemimpin dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memahami berbagai faktor yang membuat dirinya disukai (A leader with good self-awareness would recognize factors such as whether he or she was liked).
g. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu memanfaatkan tekanan daripada anggota organisasi (was exerting the right amount of pressure on organization members).
Ketika seseorang memiliki kesadaran diri yang tinggi lebih peka analisanya untuk memahami perasaan orang lain.
2. Self regulation
Kemampuan seseorang untuk mengontrol atau mengendalikan emosi dalam dirinya.
a. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu mengontrol atau mengarahkan kembali luapan dan suasana hati (The ability to control or redirect disruptive impulses and moods)
b. Seseorang dengan kesadaran diri tinggi akan mampu berpikir jernih sebelum bertindak (the propensity to suspend judgment and to think before acting).
Kemampuan untuk mengontrol diri sendiri berarti memiliki kecerdasan emosional yang tinggi karena untuk mengontrol diri sendiri diperlukan pengetahuan dan kemampuan.
3. Self motivation
Kemampuan untuk memotivasi diri sendiri yang dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut:
a. Seseorang dengan self motivation tinggi selalu memiliki alasan-alasan sehingga memberikan dorongan untuk selalu memperbaiki kinerja (seek ways to improve their performance).
b. Seseorang dengan self motivation tinggi memiliki kesiapan mental untuk berkorban demi tercapainya tujuan organisasi (readily make personal sacrifices to meet the organization`s goals).
c. Seseorang dengan self motivation tinggi mampu mengendalikan emosi diri sendiri dan memanfaatkannya untuk memperbaiki peluang agar bisa sukses (they harness their emotions and employ them to improve their chances ofbeing successful).
d. Seseorang dengan self motivation tinggi dalam melakukan kegiatan lebih terdorong untuk bisa sukses dibandingkan ketakutan akan kegagalan (they operate from hope of success rather than fear of failure).
4. Social awareness
Kesadaran sosial adalah pemahaman dan sensitivitas terhadap perasaan, pemikiran, dan situasi orang lain (Social awareness refers to having understanding and sensitivity to the feelings, thoughts, and situations of others).
Indikator untuk mengukur social awareness adalah sebagai berikut:
a. Memahami situasi yang dihadapi oleh orang lain (understanding another person`s situation).
b. Mengalami emosi orang lain (experiencing the other person`s emotions).
c. Memahami kebutuhan orang lain dengan menunjukkan kepedulian (knowing their needs by showing that they care).
5. Social Skill
Kemampuan untuk menjalin hubungan sosial yang didasarkan pada indikator:
a. Kemampuan untuk mengelola hubungan dengan orang lain (proficiency in managing relationships).
b. Kemampuan untuk membangun jaringan dengan orang lain (proficiency in building networks).
Dimensi-dimensi dari kecerdasan emosional tersebut bisa digunakan untuk mengukur seberapa tinggi kecerdasan emosional seseorang.
C. Pentingnya Kecerdasan Emosional di Tempat Kerja
Jika kita melihat orang yang sukses dalam pekerjaan, ada beberapa karakteristik umum yang mirip satu sama lain:
· Bekerja dengan sepenuh hati dan riang
· Memiliki prestasi dalam pekerjaan sebagai individu dan tim
· Mampu mengelola konflik
· Mampu menghadapi dan menjalankan perubahan
· Memiliki empati terhadap atasan, bawahan dan rekan kerja
· Mampu membaca dan mengenali emosi diri sendiri maupun orang lain serta mengambil tindakan yang tepat dalam menanganinya
Jika kita perhatikan, maka hampir semua daftar di atas akan dimiliki oleh orang yang cerdas secara emosional. Khusus untuk item nomor dua diperlukan kecerdasan intelektual yaitu bagaimana seseorang bisa menjadi ahli di bidangnya. Memiliki pengetahuan dan skill yang mumpuni agar bisa berprestasi secara individu. Selanjutnya kecerdasan emosional akan membantunya berprestasi pula sebagai tim bersama rekan kerja, bawahan maupun atasannya.
Cherniss & Goleman (2001) menjelaskan pengaruh kecerdasan emosi dalam keefektivitasan suatu organisasi di beberapa area yaitu:
1. Employee recruitment and retention
Kecerdasan emosi seseorang yang melakukan perekrutan merupakan hal yang krusial dalam membuat keputusan yang tepat.
2. Development of talent
Individu dapat mengembangkan kompetensi sosial dengan adanya interaksi sosial di tempat kerja. Aktivitas interaksi sosial tersebut merupakan aktivitas pembelajaran dua arah, kedua belah pihak berinteraksi dan mengharapkan adanya expert dan learner, untuk menerima dan member informasi/pengetahuan, di dalam interaksi sosial tersebut dibutuhkan juga kecerdasan emosi.
3. Teamwork
Adanya interaksi dan negosiasi antar anggota kelompok secara aktif pada suatu teamwork menciptakan harapan tentang bagaimana mereka sebaiknya berpikir dan bertindak dalam kelompok tersebut. Di samping itu kecerdasan emosi juga berdampak pada komitmen, inovasi, produktivitas, efisiensi, penjualan, pendapatan, kualitas Jasa, dan kesetiaan pelanggan.
Kecerdasan emosional (EQ) sangat penting karena kecerdasan emosional sangat berpengaruh terhadap kesuksesan dan kebahagiaan hidup. Kecerdasan emosional (EQ) membantu kita menciptakan hubungan yang lebih kuat, sukses ditempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi.
Bagi orang yang mengetahui pentingnya kecerdasan emosional (EQ) mereka akan berusaha lebih meningkatkan kecerdasan emosionalnya dari pada kecerdasan intelektual (IQ). Hal ini dikarenakan keberhasilan seseorang sangat bergantung pada kemampuan untuk membaca sinyal atau situasi orang lain dan kemampuan dalam menempatkan diri yang semuanya itu terletak pada kecerdasan emosional (EQ) seseorang.
Oleh karena pentingnya kecerdasan emosional (EQ), meningkatkan kecerdasan emosional (EQ) mutlak kita perlukan karena kecerdasan emosional (EQ) yang matang akan membuat kita menjadi orang yang lebih memahami, berempati, dan mampu bernegosiasi dengan orang lain. Jika tidak kesuksesan akan menghindari kita baik dalam karir maupun dalam kehidupan pribadi.
Sebuah study yang dilakukan pada lulusan Harvard University baik dari lulusan bisnis, hukum, kedokteran maupun pengajaran menunjukkan korelasi nol atau genatif antara indikator IQ (skor ujian masuk) dengan keberhasilan karir berikutnya. Ini menunjukkan pentingnya kecerdasan emosional (EQ) karena kecerdasan intelektual (IQ) saja tidak bisa menjamin kesuksesan seseorang dimasa yang akan datang. Justru orang yang memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggilah yang dapat mencapai kesuksesan dimasa yang akan datang.
Kecerdasan emosional (EQ) sangat penting bagi masa depan. Pentingnya kecerdasan emosional (EQ) antara lain mempengaruhi:
a. Kinerja Anda ditempat kerja
Memiliki kecerdasan emosional (EQ) yang tinggi dapat membantu mengatasi kompleksitas sosial ditempat kerja, memimpin dan memotivasi orang lain dan unggul dalam karir. Bahkan sekarang dalam penerimaan calon karyawan, beberapa perusahaan lebih mengutamakan kecerdasan emosional (EQ) calon karyawan selain kecerdasan intelektualnya (IQ).
b. Kesehatan fisik
Jika kita tidak dapat mengontrol dan mengelola emosi dapat mengakibatkan rasa tertekan dan stres. Jika kita tidak dapat mengelola stres tersebut, dapat menyebabkan masalah yang serius. Stres yang tidak terkontrol dapat meningkatkan tekanan darah, menekan sistem kekebalan tubuh, meningkatkan resiko serangan jantung dan stroke, serta berkontribusi terhadap infertilitas dan mempercepat proses penuaan.
c. Kesehatan mental
Stres yang tidak terkendali juga dapat mempengaruhi kesehatan mental, membuat rentan terhadap depresi dan kecemasan. Jika kita tidak dapat memahami dan mengelola emosi, akan sering merasakan perubahan suasana hati dan ketika kita tidak memiliki kemampuan yang baik untuk berkomunikasi dengan orang lain maka dapat membuat diri kita merasa kesepian dan terisolasi.
d. Hubungan Anda
Dengan memahami dan mengendalikan emosi, akan lebih mudah memahami kondisi orang lain sehingga dapat membuat kita lebih mudah untuk berkomunikasi dan berhubungan dengan orang lain serta menjadi pribadi yang menyenangkan.
EQ tidak ada yang permanen, dalam arti kata dapat diubah atau ditingkatkan dengan cara sebagai berikut:
1. Pertama, mengenal kekuatan dan kelemahan diri terutama dalam berhubungan dengan orang lain. Beberapa cara dapat dilakukan, di antaranya dengan meminta feedback (umpan balik) dari orang lain (terutama rekan terdekat) tentang tingkah lakunya selama ini. Tingkah laku yang sudah proporsional dipertahankan dan ditingkatkan, sementara yang dirasa kurang dan tidak profesional sebagai seorang karyawan/pimpinan harus diubah (transformasi diri).
2. Kedua, bergaul dan berelasi dengan banyak orang dari berbagai latar belakang dan karakter. Seringkali kita terjebak dalam relasi yang menyenangkan, hanya bergaul dengan orang-orang sepaham, bebas konflik, dan alergi dengan perbedaan pendapat.
3. Ketiga, belajar setia dan komit terhadap tugas-tugas yang sudah disepakati bersama serta dilakukan dengan konsisten. Bahkan, tidak hanya itu, dengan mencoba "menantang" diri sebenarnya kita sedang berusaha mengatur diri dengan optimal. Misalnya, jika kesepakatan untuk sales target bulan ini 250 juta, buat "kesepakatan" diri sales target-nya sebesar 300 juta. Jangan cepat puas dengan pencapaian yang sesuai dengan apa yang sudah disepakati. Berilah diri lebih (go the extramiles), kita pun akan memperoleh nilai diri lebih dalam performance appraisal.
4. Keempat, kurangi waktu untuk sibuk mengurusi orang lain, apalagi memiliki kegemaranmenyebar gosip dan rumor di kantor. Kegemaran ini justru akan menyerap energi kita yang semestinya dapat dipergunakan untuk mengembangkan kecerdasan emosi tersebut. Hanna (1997) mengatakan bahwa aktivitas demikian justru akan menurunkan rekening bank harga diri kita.
5. Kelima, bertingkah laku asertif, nyatakan benar kalau benar dan salah jika salah. Hal itu dilakukan tentu berdasarkan koridor-koridor dan track etika perusahaan yang profesional. Karyawan/pimpinan yang safety playerdemi menyelamatkan kedudukan/fasilitas yang dimilikinya dan membiarkan kondisi yang merusak tatanan perusahaan tetap berlangsung menunjukkan kekerdilan kecerdasan emosinya.
6. Keenam, keep learning, terus belajar baik melalui pengalaman pekerjaan sehari-hari, membaca buku pengembangan diri, mengikuti pendidikan formal maupun pelatihan-pelatihan yang sifatnya soft skill. Tidak ada kata tamat untuk belajar karena melalui media inilah kita dapat memosisikan diri dalam self continous improvement.
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kasus
1. Kasus Pertama
Kasus pertama menggambarkan tentang dua karyawan yang salah satu dari karyawan tersebut menelepon karyawan sebelahnya dengan tujuan mengalihkan perhatian rekan kerjanya agar bisa menggeser pembatas antara dirinya dengan temannya sehingga ruang geraknya bias sedikit lebih luas. Namun, temannya menyadari bahwa penelepon rahasia yang berkali-kali menelepon adalah teman sebelahnya. Dan akhirnya teman sebelahnya merubuhkan pembatas antara dirinya dengan teman sebelahnya sehingga pembatas tersebut jatuh dan menibani teman sebelahnya.
2. Kasus Kedua
Kasus kedua digambarkan dengan kondisi lingkungan kerja dalam sebuah kantor yang terdiri dari beberapa karyawan. Namun terjadi keganjalan yang terjadi pada salah satu karyawan. Seperti layaknya karyawan biasa, mereka sibuk mengerjakan tugas masing-masing. Ternyata salah satu karyawan ingin mencetak dokumen, namun ada kendala yang terjadi pada printer. Karyawan tersebut mencoba untuk memperbaiki printer tersebut. Namun, setelah beberapa kali mencoba diperbaiki ternyata printer tersebut tidak bisa digunakan. Tiba-tiba karyawan tersebut memukul-mukul printer tersebut dan membuangnya keluar jendela tanpa memikirkan apa yang akan terjadi akibat perilakunya. Dengan perilaku yang dilakukannya tersebut membuat karyawan lain merasa ketakutan karenanya. Dan pastinya karyawan lain merasa terganggu lalu karyawan tersebut memilih untuk meninggalkan ruangannya.
B. Pembahasan
1. Pembahasan Kasus 1
Jika dikaitkan dengan teori, berdasarkan dimensi menurut Goleman
· Self awareness
Self awareness merupakan kemampuan memahami diri sendiri dan merespon situasi dari orang lain secara kesadaran emosi. Hal ini tercermin dengan respon dari masing-masing karyawan yang mencerminkan respon yang tidak baik.
· Social awareness
Social awareness merupakan kemampuan menangkap emosi orang lain dan memahami apa yang dipikirkan. Salah satunya adalah kesadaran berorganisasi. Pada dasarnya mereka ada pada sebuah organisasi yang menaunginya, namun mereka tidak memiliki kesadaran akan berorganisasi. Mereka tidak peduli dengan sekitarnya untuk melakukan hal tersebut.
· Self management.
Masing-masing karyawan tersebut tidak memiliki self management yang baik terbukti dengan masing-masing karyawan tidak memiliki kontrol emosi yang baik, mulai dari menelepon tanpa tujuan yang jelas sampai merubuhkan pembatas ruangan hingga menibani temannya tersebut.
· Relationship management
Relationship management merupakan kemampuan untuk kesadaran emosi manusia dan emosi orang lain untuk mengelola interaksi. Dalam kasus ini, relationship management antara karyawan tersebut tidak terjalin dengan baik karena tidak ada komunikasi yang baik sehingga terjadi konflik diantara mereka. Selain itu, mereka berdua tidak menjalin kerja sama yang baik.
2. Pembahasan Kasus 2
Dalam kasus kedua ini, jika dilihat dari segi dimensi menurut Titimaea dapat dijabarkan sebagai berikut:
· Self awareness
Pada kasus ini, karyawan tersebut tidak memiliki kesadaran akan dirinya sendiri dan tidak memikirkan bagaimana akibat dari yang dilakukannya.
· Self regulation
Self regulation merupakan kemampuan seseorang untuk mengontrol atau mengendalikan emosi, disini jelas terlihat bahwa karyawan tersebut tidak memiliki control emosi terhadap dirinya sendiri sehingga mengalami luapan amarah yang dapat merugikan orang lain.
· Self motivation
Dalam kasus ini, karyawan tersebut tidak memiliki motivasi diri yang baik. Seperti yang tercantum dalam teori bahwa “seseorang dengan self motivation tinggi mampu mengendalikan emosi diri sendiri dan memanfaatkannya untuk memperbaiki peluang agar bisa sukses”. Dapat dilihat bahwa karyawan tersebut tidak dapat mengendalikan emosi serta tidak mampu memperbaiki peluang, setelah tahu bahwa printer tidak dapat digunakan, ia tidak mencari printerlain yang dapat melainkan ia memukulnya dan membuangnya keluar tanpa memikirkan bagaimana selanjutnya nanti.
· Social awareness
Selain teori di atas, ternyata karyawan lain pun tidak memiliki social awareness yang baik. Terbukti pada saat rekan kerjanya membutuhkan printer untuk mencetak, tidak ada seorangpun yang menawarkan bantuan untuknya.
· Social skill
Berkaitan dengan social skill, sepertinya tidak terjalin hubungan social yang baik diantara para karyawan yang ada pada kantor tersebut khususnya yang ada di ruangan.
Selaras dengan teori di atas, kecerdasan emosi memiliki pengaruh dalam kefektivan organisasi seperti:
· Development of talent
Dimana individu dapat mengembangkan kompetensi social dengan interaksi social di tempat kerja. Namun, hal itu tidak tercermin dalam kasus di atas.
· Teamwork
Dengan adanya interaksi dalam teamwork dapat menciptakan harapan tentang bagaimana mereka sebaiknya berpikir dan bertindak dalam kelompok. Dalam kasus ini tidak tercermin teamwork yang baik, sehingga karyawan tersebut tidak memikirkan apa yang harusnya ia lakukan, melainkan hanya mengandalkan amarah saja.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengendalikan emosinya untuk mengambil keputusan tertentu dalam hubungan interpersonal.
2. Terdapat 4 dimensi kecerdasan emosional yaitu self awereness, social awareness, self management, dan relationship management.
3. Penitngnya kecerdasan emosional dapat mempengaruhi keefektifan suatu organisasi atau perusahaan dibeberapa area seperti employee recruitment and retention, development of talent, dan teamwork.
B. Saran
Kecerdasan emosional setiap mahasiswa perlu ditingkatkan agar dapat menjadi bekal ketika nanti memasuki dunia kerja atau untuk memperbaiki hubungan kerja dan kinerja seseorang. Dengan ada kecerdasan emosional yang dimiliki mahasiswa diharapkan mereka dapat diterima dengan baik ditempat kerja nantinya.
Demikianlah Artikel Tentang Makalah Emotional Quotient
Semoga dengan membaca artikel Makalah Emotional Quotient ini, bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel kami yang lainnya. Dan jangan lupa di share yaa
Anda sekarang membaca artikel Makalah Emotional Quotient dengan alamat link https://patihakbar.blogspot.com/2015/11/makalah-emotional-quotient.html
Previous article
Next article
Leave Comments
Post a Comment
Kami memiliki kebijakan dalam berkomentar di blog ini :
- Dilarang promosi suatu barang
- Dilarang jika memasang link aktif di komentar
- Dilarang keras promosi iklan yang berbau judi, pornografi dan kekerasan
- Dilarang menulis komentar yang berisi sara atau cemuhan
Kebijakan komentar yang bisa Anda temukan selengkapnya disini
Dukungan :
Jika menyukai dengan artikel blog kami, silahkan subscribe blog ini